Home / Hukum / Negara Hukum, Kepemimpinan, dan Budaya Hukum di Tengah Dinamika Demonstrasi

Negara Hukum, Kepemimpinan, dan Budaya Hukum di Tengah Dinamika Demonstrasi

Jakarta, jarinusa.id – Fenomena demonstrasi yang kerap berujung anarkistis kembali menjadi sorotan. Tulisan Prof. Romli Atmasasmita bertajuk “Hukum dan Penegakan Hukum di Tengah Demo Anarkistis” mengingatkan publik bahwa isu ini bukan semata persoalan sosial, tetapi menyentuh jantung negara hukum: bagaimana menyeimbangkan hak konstitusional warga dengan kewajiban menjaga ketertiban umum.

Dr. Bachtiar, pengajar Hukum Tata Negara FH UNPAM, menegaskan bahwa pemikiran Prof. Romli relevan untuk dijadikan pijakan. “Hukum bukan sekadar instrumen teknis aparat, tetapi pilar legitimasi negara hukum. Keadilan dan konsistensi penegakan hukum adalah syarat agar hukum dipatuhi karena kepercayaan, bukan rasa takut,” jelasnya.

Hukum sebagai Fondasi Legitimasi

Konstitusi menegaskan Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Artinya, seluruh tindakan pemerintah wajib berakar pada hukum dan dibatasi hukum.

Menurut Dr. Bachtiar, legitimasi negara lahir dari kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Jika hukum ditegakkan diskriminatif—tajam ke bawah tapi tumpul ke atas—kepercayaan rakyat runtuh. “Inilah bedanya rule of law dengan rule by law. Pada yang pertama, hukum menundukkan semua pihak; pada yang kedua, hukum hanya jadi alat kekuasaan,” katanya.

Hak Konstitusional dan Batas Keteraturan

UUD 1945 memberi jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Namun, Pasal 28J menegaskan kebebasan itu bukan absolut. Negara berhak melakukan pembatasan demi menjaga keamanan, moral, dan ketertiban umum.

“Demonstrasi damai adalah ekspresi demokrasi yang sah. Tapi jika berubah anarkistis—merusak fasilitas, melanggar hukum, mengganggu masyarakat—negara wajib menindak,” ujar Dr. Bachtiar.

Kepemimpinan dan Budaya Hukum

Prof. Romli menekankan pentingnya integritas pemimpin dalam menegakkan negara hukum. Kepemimpinan yang patuh aturan akan menular ke masyarakat. Sebaliknya, jika pemimpin abai, hukum hanya menjadi formalitas.

Budaya hukum tidak bisa hanya dibentuk lewat aturan tertulis, melainkan lewat teladan nyata. Demonstrasi damai harus dihargai, sementara tindakan anarki harus ditindak tegas namun adil.

Langkah Menjaga Keseimbangan

Refleksi Prof. Romli memberi empat pijakan bagi negara hukum:

  1. Perkuat dialog konstitusional dengan masyarakat agar demonstrasi tidak jadi jalan terakhir.
  2. Tegakkan hukum secara konsisten tanpa diskriminasi.
  3. Transparansi aparat dalam merespons aksi massa, agar legitimasi negara tetap kuat.
  4. Edukasi publik tentang hukum, menumbuhkan kesadaran bahwa kebebasan selalu disertai tanggung jawab.

Refleksi Kritis

Indonesia sebenarnya memiliki perangkat hukum memadai. Masalah utama terletak pada konsistensi implementasi dan integritas aparat. “Paradoks sering muncul: rakyat diminta taat hukum, sementara negara tidak memberi teladan. Ini yang melahirkan ketidakpercayaan,” ujar Dr. Bachtiar.

Ia menekankan, masyarakat sipil juga dituntut dewasa. “Hak berdemonstrasi harus dijalankan secara bertanggung jawab, bukan dengan tindakan destruktif,” tambahnya.

Relevansi dengan Polri

Dalam konteks Indonesia, peran Polri menjadi krusial. Sebagai institusi sipil, Polri dituntut menyeimbangkan kebebasan rakyat dengan ketertiban umum.

“Polri harus netral, profesional, dan tidak jadi alat kekuasaan. Transparansi, akuntabilitas, serta pendekatan persuasif lebih penting daripada tindakan represif,” kata Dr. Bachtiar.

Menurutnya, legitimasi Polri hanya akan kuat bila mampu menegakkan hukum secara adil. “Stabilitas tidak boleh berarti menutup ruang demokrasi,” tegasnya.

Penutup

Refleksi atas gagasan Prof. Romli menunjukkan bahwa menjaga keseimbangan antara kebebasan berdemonstrasi dan ketertiban umum adalah pekerjaan bersama. Negara dituntut konsisten dan adil, sementara masyarakat sipil harus dewasa dalam berekspresi.

“Negara hukum hanya akan tegak jika hukum ditegakkan dengan keadilan, transparansi, dan konsistensi. Tanpa itu, demokrasi hanya akan melahirkan ketidakpercayaan yang berulang,” pungkas Dr. Bachtiar.

Loading

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!